Masih pagi sekali aku memulai suatu aktifitas, nampaknya hanya ada
setengah semangat yang menuntun badan untuk harapan. Dan sisanya adalah
dia, dia ada untuk mendorong aku yang bermata sayup di pagi itu untuk
lebih bersemangat. Terimakasih dia!
Dia? Siapa dia itu?
Aku kurang tau tentang dia. Tapi, dia selalu ada bersama-sama untuk setiap pagiku.
Lantas mau apa dia?
Sudahlah,
aku tidak ingin berpanjang-panjang untuk dia, yang jelas dia adalah
sesuatu yang bersembunyi dan dikuatkan oleh keterpaksaan pada jejaknya.
Pagi
itu aku bersiap untuk sebuah tempat yang khalayak sebut itu ruang ilmu.
Tapi tidak denganku, aku lebih gemar menyebut tempat itu sebagai gedung
muda. Tempat dimana orang-orang saling meninggi dengan materi yang
mereka dapatkan jauh dari sebrang negri ini dan berlomba-lomba untuk
membuka pakaian mereka untuk kemudian membuang-memungut kembali pakaian
mereka sampai mereka lelah dan puas. Dan sampai saat ini tempat itu
masih menjadi sebuah tempat yang angker untuk kusinggahi pada setiap
hari.
Dalam pagi yang terlalu gelap pada waktunya aku pun
menyinggahi gedung itu.
Dan seperti biasa, di sini mentari seperti tidak
pernah terbit sehingga terasa selalu memusuhiku di kala pagi yang aku
harap akan terangnyapun tiada membiaskan sinar. Memilukan adanya, dengan
keterpaksaan yang tak pernah disambut oleh suatu hal yang sangat
berperan penting di balik kelanjutan hidup yang wajar.
Kini
aku mulai berpikir tentang suatu hal tak wajar yang kerap terjadi pada
setiap pagi yang tersinggahi. Dan sangat sulit untuk menerima akan
penyebab hal itu. Betapa tidak? Di gedung itu, gedung muda yang
orang-orang kagumi akan kehadirannya adalah penghambatku untuk dapat
bergurau bersama mentari. Menjulang tinggi, jendela-jendela silau yang
memantulkan cahaya ke arah langit, sudut bangunan yang sejajar dengan
awan. Sehingga tiada sedikitpun celah cahaya mentari yang menembus awan
untuk menyinari setiap yang berada di kaki gedung.
Kini aku hanya
bersandar di bawah pohon tua yang kering, dan pada batangnya yang rapuh
tanpa sinar aku pun sedikit menggoresnya dengan bahasa :
Pada suatu pagi di gedung muda
Suaraku keras bernyanyi sumbang
Di bawah pohon kering tanpa sinar
Dan iringan gitar tanpa senar
Di sini,
Gedung adalah peneduh pohon
Lalu,
Pohon adalah pantatnya
Dan semua membalikan yang wajar
Lalu,
aku kembali mengamati goresan di batang pohon yang telah ku goreskan.
Terlihat rancu, seperti seseorang yang patah hati karena sebuah cinta
atau karena kehilangan seseorang yang sangat berarti untuknya, bahkan
mungkin lebih dari sebuah kata patah hati. Maka jika ada kata yang lebih
tepat untuk menamai bait di batang pohon tersebut akan ku namakan
“bahasa putus nadi”, putus nadi seperti saat merasakan keterasingan di
kala pagi yang tidak pernah wajar menyambutku di balik gedung muda.-
Inilah sekilas tentang suatu hal yang menyebabkan putus nadi pada setiap
pagi -
16 - 03 - 2012
Kamar